"Halo, assalamu'alaikum", sapamu.
Pagi ini sedikit berbeda, engkau yang biasanya menyapa dengan kantuk, kali ini terdengar lebih segar dibanding biasanya.
Seolah sudah tau bahwa aku rindu mengobrol denganmu, kamu mulai bercerita dan tentu saja aku yang selalu senang mendengar apapun darimu tidak ingin terlewat sedikitpun. Meskipun hanya sekedar obrolan sehari - hari atau bahkan obrolan receh yang kadang tidak kumengerti.
Setelah beberapa menit berlalu, tiba-tiba kamu menanyakan hal yang mungkin akan menjadi pembuka obrolan serius pagi ini. Kamu bertanya kenapa waktu itu aku sempat berpikir untuk tidak menikah, dan kujawab sama persis seperti waktu itu. Aku hanya capek dengan ekspektasi orang-orang yang gak kunjung selesai. Lelah dengan pertanyaan dan harapan-harapan yang selalu muncul. Mungkin mendengar jawabanku seperti itu, kamupun bertanya kembali untuk memastikan, "gapapa aku membahas ini sama kamu?"
"iya gapapa." jawabku. Dan tentu saja kamu tau aku berbohong, namun saat itu kamu memilih untuk melanjutkan ceritamu.
Cerita tentang sebuah harapan. Harapan yang tidak seharusnya ada dan tumbuh di hati seseorang
kepadamu. Harapan yang tidak pada tempatnya atau hanya sekedar salah
waktunya akupun tak tau. Hanya saja bagimu semua sama, jangan terlalu
berharap apalagi untuk sesuatu yang tidak pasti.
Entah sudah keberapa kali kamu selalu bilang padaku untuk tidak terlalu pada banyak hal, tidak terlalu banyak ekspektasi ataupun harapan. Dulu aku belum begitu paham mengapa kamu begitu, ternyata ada cerita dibalik itu. Kamu sudah pernah merasakan bagaimana rasanya harapan itu dipatahkan dan dihancurkan orang lain dengan mudahnya, tidak sekali, dua kali, tapi beberapa kali.
Gelas yang tadinya kosong dan diisi penuh dengan harapan serta usaha yang panjang kemudian ditumpahkan dan dipecahkan begitu saja. Seperti itulah ketika berharap lebih kepada manusia, kepada makhluk yang bahkan tidak punya kuasa atas dirinya sendiri. Begitu kamu menjelaskannya padaku.
Aku masih diam dan mencoba mencerna mau kemana arah obrolan kami. Lalu kamupun mulai berbicara tentang keinginan adikmu soal pasanganmu nanti. Pasangan yang tidak ingin terlampau jauh jarak umurnya dengannya, tidak terlalu muda namun juga tidak ingin yang lebih tua katanya. Aku tau karena akupun juga seorang adik yang dulu juga punya harapan seperti itu untuk kakakku.
Akupun masih belum menanggapi apa-apa, lalu kamu bertanya kembali,
"Kalau tiba-tiba aku nikah gimana?"
"Ya gapapa dong, berarti sudah bertemu dengan jodohnya kan."
Kataku, yang tanpa kusadari hujan mulai turun pagi itu di sudut mataku. Mungkin
aku bisa membohongimu dan orang lain tapi tidak dengan diri dan hatiku
sendiri.
Saat itu, setelah mendengar pendapat dan ceritamu, aku mulai mengerti apa jawaban dari pertanyaanmu diawal, pertanyaan tentang kenapa aku pernah berpikir untuk tidak menikah dan tidak percaya lagi kepada orang baru. Mungkin bukan karena aku capek menunggu atau menanggapi ekspektasi orang, tapi karna aku merasa malu dan tidak pantas untuk siapapun saat ini, terlebih untukmu.
Satu hal yang tidak kamu tau, ketika kamu bilang bahwa jangan terlalu berharap apalagi kepada yang belum pasti --- bagaimana bisa aku berharap kalau gelas yang akan kuisi dengan harapan saja aku sudah tidak memilikinya. Ya, sama sepertimu sudah banyak gelas harapan yang juga tumpah dan hancur karena ekspektasiku sendiri.
Telponpun akhirnya kita sudahi setelah waktu menunjukkan 2 jam penuh
kita berbicara. Rasanya begitu lucu dan aneh cerita pertemuan kita yang
tidak romantis, yang mungkin terpaksa dan berjalan begitu saja karna
urusan pekerjaan. Tak pernah ada di pikiranku menjadikanmu istimewa di
hidupku. Tanpa sadar waktu berjalan bergitu cepat sampai sejauh ini,
sampai di titik melepaskanmu begitu melelahkan untukku.
Terimakasih untuk waktu dan ceritanya.
Hati-hati di jalan.
- 23.07